JAKARTA, 1 November 2025 – Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan, di antara gemerlap gedung pencakar langit dan lalu lalang kendaraan, terselip kisah inspiratif tentang seorang pemuda bernama Putu Eka Darmawan. Kisah ini bukan tentang kesuksesan instan atau keberuntungan semata, melainkan tentang keberanian mengambil risiko, melihat peluang di tempat yang tak terduga, dan mengubah masalah menjadi solusi yang berkelanjutan.
Eka, yang dulunya berprofesi sebagai bartender di kapal pesiar mewah yang kerap berlabuh di kota-kota glamor seperti Los Angeles dan Miami, kini justru berkutat dengan tumpukan sampah plastik di Pulau Dewata, Bali.
Enam tahun mengarungi lautan dan melayani para pesohor dunia membuat Eka menyadari bahwa hidup di tengah laut, jauh dari keluarga dan tanah kelahiran, bukanlah sesuatu yang bisa ia jalani selamanya.
Kerinduan akan rumah dan keinginan untuk berkontribusi bagi masyarakat mendorongnya untuk mengambil keputusan besar: pulang kampung dan memulai bisnis sendiri. Namun, bisnis apa yang cocok untuknya?
Di tengah kebimbangan, Eka justru menemukan jawabannya di tempat yang paling tidak terduga: tumpukan sampah plastik yang menggunung di sekitarnya.
Ia melihat bahwa sampah plastik, yang selama ini dianggap sebagai limbah yang mengotori lingkungan, justru menyimpan potensi ekonomi yang besar jika dikelola dengan baik.
“Ketemulah kalo konsep yang paling cocok untuk saya itu adalah di sampah plastik karena selain itu yang jadi sumber masalah, saya juga ngeliat potensi ke depannya itu ada,” ujarnya penuh semangat.
Dengan modal awal Rp 25 juta, Eka mendirikan Rumah Plastik Mandiri pada tahun 2016. Ia memulai bisnisnya dengan membeli limbah plastik dari para pemulung untuk diolah menjadi bahan baku baru yang kemudian dijual ke industri.
Namun, Eka tidak berhenti di situ. Ia memiliki visi yang lebih besar, yaitu menciptakan ekosistem daur ulang yang berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Seiring berjalannya waktu, Eka membangun kemitraan dengan bank sampah dan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di sekitar Bali. Ia menawarkan harga yang lebih tinggi dan stabil untuk sampah plastik yang dikumpulkan oleh masyarakat, sehingga mendorong partisipasi aktif dalam program daur ulang.
“Harga plastik yang semula hanya Rp 500-1.000 per kilogram (kg) bisa dihargainya hingga mencapai Rp 2.500. Bahkan jika melalui proses sortir lanjutan harganya bisa naik menjadi 2-3 kali lipat,” jelas Eka.
Kini, Rumah Plastik Mandiri mampu mengolah hingga 3 ton sampah plastik per hari. Hasil olahan tersebut tidak hanya dijual sebagai bahan baku, tetapi juga diubah menjadi berbagai produk kreatif dan inovatif, mulai dari gantungan kunci, medali, furnitur, hingga material campuran untuk aspal.
Eka menjelaskan bahwa Rumah Plastik Mandiri memiliki beberapa fokus dalam operasionalnya demi meningkatkan nilai jual sampah plastik.
“Kita membuat jalur pengolahan kita sendiri untuk ngangkat harga, menstabilkan harga, jadi hilirisasi kita tuh ada satu, kita gunakan untuk bikin produk-produk olahan dari recycle plastik ya dimulai dari kecil-kecil lah, dari gantungan kunci, medali, menaik ke furniture abis itu sampai ke interior, dari bahan daur ulang,” ungkapnya.
Baca Juga:
Tangerang Raya Bebas Sampah? Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Siap Dibangun
Keberhasilan Eka dalam mengolah sampah plastik menjadi produk bernilai jual tinggi ternyata tidak hanya diakui di dalam negeri, tetapi juga di pasar internasional. Produk-produk kreatif buatan Eka telah berhasil menembus pasar ekspor ke berbagai negara, seperti Jepang, Spanyol, Malaysia, dan Australia.
Permintaan dari negara-negara tersebut sangat beragam, mulai dari aksesori kecil hingga furnitur set meja dan kursi dari kombinasi plastik dan kayu jati. Eka bercerita bahwa satu set meja dan dua kursi yang belum lama ini dijual ke Jepang dibanderol sekitar Rp 7,5 juta. Untuk produk kecil seperti gantungan kunci, ia menerapkan sistem minimum order agar bahan baku dan proses cetak bisa dimanfaatkan secara efisien.
Yang lebih membanggakan lagi, sebagian besar pesanan yang diterima oleh Rumah Plastik Mandiri justru datang dari luar negeri. Nilai ekspor bulanan bisa mencapai antara Rp 50 juta hingga Rp 150 juta. Semua ini berjalan tanpa strategi pemasaran besar-besaran.
Eka mengaku baru memiliki akun Instagram pada tahun 2023 dan sebelumnya hanya mengandalkan promosi dari mulut ke mulut.
Kesuksesan Eka dalam bisnis daur ulang sampah plastik tidak lepas dari kerja keras, inovasi, dan keberanian mengambil risiko. Ia tidak takut untuk keluar dari zona nyaman dan mencoba hal-hal baru. Ia juga tidak mudah menyerah ketika menghadapi tantangan dan hambatan.
“Modal kami banyak terbakar di riset. Kami malah merancang dan membuat mesin sendiri, karena mesin daur ulang di pasaran tidak sesuai dengan karakter plastik di Indonesia,” tuturnya.
Eka bersama timnya merakit mesin pencacah, mesin pencuci, pengering, pelebur, hingga pencetak plastik. Semua dikerjakan bersama bengkel lokal yang awalnya menjadi rekanan, lalu bergabung menjadi bagian dari tim produksi Rumah Plastik Mandiri. Kini, Eka mempekerjakan 15 orang dan melibatkan banyak mitra dari komunitas lokal.
Ia meyakini bahwa kesuksesan tidak datang dari keberuntungan, melainkan dari riset panjang yang penuh risiko dan biaya besar.
Eka juga berpesan kepada siapa pun yang ingin berkecimpung di bisnis daur ulang sampah plastik. Menurutnya, hal pertama yang harus dilakukan adalah datang langsung ke tempat pengolahan untuk melihat kondisi riil bisnis tersebut.
Kedua, berbaur dengan masyarakat karena bisnis ini membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitar.
“Kayaknya paling bagus itu harus datang ke tempat dulu deh aku pengin belajar aku pengin masuk ke bisnis sampah bayar daur ulang lebih bagus itu datang dulu ke tempatnya lihat bagaimana proses dan semuanya karena apa yang terlihat di sosmed itu rata-rata bohong jadi terkesannya itu mudah tapi itu sulit,” tuturnya.
Eka meyakini bahwa plastik bukan hanya sekadar musuh, melainkan sumber daya yang belum dimanfaatkan dengan baik. Menurutnya, plastik tetap menyimpan potensi besar namun kurang terkelola dengan baik.
“Plastik ini sumber daya yang kita punya, yang jumlahnya hampir unlimited cuma selesai jadi abu di TPA atau dibuang dan mencemari lingkungan. Itu lebih baik potensi itu kita gunakan untuk sesuatu yang lebih berguna,” tutup Eka dengan nada optimis.
Baca Juga:
Adhyaksa FC Banten Mengamuk! PSPS Riau Dibantai 7-3 di BIS
Kisah Eka ini adalah bukti nyata bahwa dengan kerja keras, inovasi, dan keberanian, kita dapat mengubah sampah menjadi berkah dan memberikan kontribusi positif bagi lingkungan dan masyarakat.



