SOLO – Keraton Surakarta Hadiningrat kembali bergejolak. Belum usai duka atas wafatnya SISKS Pakubuwono XIII, kini muncul drama perebutan takhta yang memanaskan suasana. Putra Mahkota, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunagoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram, mendeklarasikan diri sebagai SISKS Pakubuwono XIV tepat setelah prosesi pelepasan jenazah sang ayah, Rabu (5/11).
Deklarasi mendadak ini sontak mengejutkan banyak pihak. Hamangkunagoro, dalam pidatonya yang semula berisi ucapan terima kasih kepada para pelayat, tiba-tiba mengubah intonasinya menjadi tegas dan lantang saat membacakan ikrar kenaikan takhta.
“Saya, KGPAA Hamangkunagoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram, pada hari ini, Rabu Legi 14 Jumadil Awal tahun dal 1959, atau tanggal 5 November 2025, naik tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan sebutan SISKS Pakubuwana XIV,” ujarnya, sebelum memerintahkan abdi dalem untuk memberangkatkan jenazah ayahnya ke Pajimatan Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta.
Namun, klaim takhta Hamangkunagoro ini tidak berjalan mulus. Maha Menteri Keraton Surakarta, Kanjeng Gusti Panembahan Agung (KGPA) Tedjowulan, justru mengklaim dirinya menjalankan fungsi ad interim Raja Keraton Surakarta.
Tedjowulan berdalih terjadi kekosongan kekuasaan sejak wafatnya Pakubuwono XIII pada Minggu (2/11) dan menyatakan akan menjalankan fungsi ad interim hingga penerus Pakubuwono XIII dinobatkan.
Klaim Tedjowulan ini didasarkan pada SK Menteri Dalam Negeri nomor 430-2933 Tahun 2017 tentang Penetapan Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta.
Dalam klausul kelima SK tersebut, disebutkan bahwa Kasunanan Surakarta dipimpin oleh SISKS Pakubuwono XIII dan didampingi Maha Menteri KGPA Tedjowulan dalam melaksanakan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan Pemerintah Kota Surakarta.
Tedjowulan mengakui adanya pihak-pihak yang mendorong nama tertentu untuk menjadi penerus takhta kerajaan. Namun, ia menegaskan bahwa hingga saat ini, ia belum menetapkan siapa yang akan menggantikan kedudukan Pakubuwono XIII sebagai raja.
Ia berharap semua pihak menahan diri untuk menjaga kerukunan keluarga besar Keraton Surakarta dan berjanji akan mengumpulkan para Putradalem (anak) SISKS Pakubuwono XII, yaitu saudara-saudara kandung SISKS Pakubuwono XIII, dan merangkul Putradalem SISKS Pakubuwono XIII untuk menyatukan pandangan tentang masa depan Keraton Surakarta.
Di tengah klaim yang saling bertentangan ini, anak tertua Pakubuwana XIII, GKR Timoer Rumbai, menegaskan bahwa ayahnya telah menetapkan KGPAA Hamangkunegoro sebagai penerusnya.
“Saya harus pertegas, Sinuhun (Pakubuwana XIII) sudah menunjuk dan melantik putra mahkota,” ujarnya.
Baca Juga:
Parung Panjang: Kisah di Balik Penutupan Tambang, Kompensasi, dan Harapan Warga
Timoer juga mengatakan bahwa pengangkatan KGPAA Hamangkunegoro telah disepakati oleh keluarga inti Pakubuwana XIII.
Ia menegaskan bahwa pihak-pihak di luar keluarga inti tidak memiliki hak suara dalam menentukan penerus takhta kerajaan dan menyebut penolakan terhadap Putra Mahkota sebagai pelanggaran adat.
Perebutan Takhta: Tradisi vs. Kekuatan Politik?
Drama perebutan takhta Keraton Surakarta ini memunculkan pertanyaan besar: apakah ini sekadar perseteruan keluarga atau ada kekuatan politik yang bermain di belakang layar? Klaim Tedjowulan sebagai ad interim Raja Keraton Surakarta berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri menimbulkan spekulasi bahwa pemerintah pusat memiliki peran dalam menentukan arah Keraton Surakarta di masa depan.
Di sisi lain, penegasan GKR Timoer Rumbai bahwa Pakubuwana XIII telah menunjuk dan melantik putra mahkota menunjukkan bahwa tradisi dan adat masih memiliki kekuatan yang besar dalam menentukan penerus takhta kerajaan.
Namun, apakah tradisi dan adat ini cukup kuat untuk mengalahkan kepentingan politik yang mungkin ada?
Masa Depan Keraton Surakarta: Antara Harapan dan Kekhawatiran
Perebutan takhta Keraton Surakarta ini menimbulkan kekhawatiran akan masa depan kerajaan yang pernah menjadi pusat peradaban Jawa. Perpecahan di dalam keluarga kerajaan dapat melemahkan posisi Keraton Surakarta dan mengurangi pengaruhnya dalam masyarakat.
Namun, di tengah kekhawatiran ini, masih ada harapan bahwa keluarga kerajaan dapat menemukan titik temu dan menyelesaikan perseteruan ini secara damai. Persatuan dan kesatuan keluarga kerajaan adalah kunci untuk menjaga kelestarian Keraton Surakarta dan memastikan kelangsungan tradisi dan budaya Jawa yang adiluhung.
Masyarakat Surakarta dan seluruh Indonesia berharap agar drama perebutan takhta ini segera berakhir dan Keraton Surakarta dapat kembali menjadi simbol persatuan dan kebanggaan bangsa.
Baca Juga:
Rokok dan Kesehatan Mental: Fakta Pahit di Balik Ilusi Ketenangan
Masa depan Keraton Surakarta berada di tangan para pewaris takhta. Semoga mereka dapat memilih jalan yang terbaik untuk kepentingan kerajaan dan masyarakat.



