LUBUKLINGGAU – Dunia kuliner Indonesia kembali dikejutkan dengan inovasi unik dan kreatif dari Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Jika biasanya dendeng terbuat dari daging sapi, kini hadir olahan dendeng yang menggunakan bahan dasar daun pucuk ubi atau daun singkong. Kreasi kuliner yang diberi nama Dendeng Pucuk Ubi Wak Idah ini bukan hanya sekadar camilan biasa, tetapi juga representasi dari kekayaan alam dan kreativitas masyarakat Lubuklinggau.
Dendeng Pucuk Ubi Wak Idah merupakan olahan pangan terbaru sekaligus yang pertama di Indonesia. Rumah produksi dendeng unik ini berlokasi di Lorong Kamadanu, Kelurahan Majapahit, Kecamatan Lubuklinggau Timur I, Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Di sinilah, setiap lembar daun singkong diolah dengan penuh cinta dan ketelitian, menghasilkan dendeng yang renyah, gurih, dan kaya rasa.
Proses pembuatan Dendeng Pucuk Ubi Wak Idah terbilang cukup rumit dan membutuhkan kesabaran. Awalnya, daun pucuk ubi dipilih dengan cermat, hanya daun yang berkualitas bagus yang digunakan. Daun-daun tersebut kemudian dibersihkan dengan dicuci menggunakan air mengalir untuk menghilangkan kotoran dan residu pestisida.
Setelah dicuci bersih, daun pucuk ubi direbus menggunakan panci besar hingga layu. Proses perebusan ini bertujuan untuk menghilangkan getah dan mengurangi rasa pahit pada daun singkong. Setelah direbus, daun pucuk ubi dibilas kembali dengan air bersih dan dikeringkan menggunakan spinner.
Daun pucuk ubi yang sudah kering kemudian dicacah atau dipotong kecil-kecil. Proses pencacahan ini bertujuan untuk memudahkan proses pengadonan dan menghasilkan tekstur dendeng yang lebih renyah. Daun pucuk ubi yang sudah dicacah kemudian dicampur dengan bumbu-bumbu rempah khas Indonesia, seperti bawang merah, bawang putih, cabai, ketumbar, dan kunyit.
Setelah proses pengadonan selesai, adonan daun pucuk ubi dikukus hingga matang. Proses pengukusan ini bertujuan untuk mematangkan bumbu dan menghasilkan aroma yang lebih harum. Setelah dikukus, adonan daun pucuk ubi didinginkan terlebih dahulu sebelum dicetak menjadi bentuk dendeng.
Proses pencetakan dendeng dilakukan secara manual menggunakan tangan. Setiap lembar dendeng dibentuk dengan hati-hati agar memiliki ketebalan dan ukuran yang seragam. Setelah dicetak, dendeng pucuk ubi dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari langsung selama seharian hingga kering.
Setelah kering, dendeng pucuk ubi digoreng secara singkat dalam minyak panas hingga berwarna keemasan. Proses penggorengan ini bertujuan untuk menghasilkan tekstur dendeng yang renyah dan memberikan aroma yang lebih menggugah selera. Setelah digoreng, dendeng pucuk ubi ditiriskan untuk menghilangkan kelebihan minyak.
Terakhir, dendeng pucuk ubi dikemas dalam bungkus kemasan yang menarik beserta paket sambal dendeng yang sudah dimasak secara terpisah sebelumnya. Sambal dendeng ini terbuat dari cabai, bawang merah, bawang putih, dan rempah-rempah lainnya, memberikan sensasi pedas yang nikmat dan menambah cita rasa dendeng pucuk ubi.
Dendeng Pucuk Ubi Wak Idah tersedia dalam 3 varian rasa, yaitu cabai merah, cabai hijau, dan original. Harganya pun terjangkau, yaitu Rp 20 ribu per bungkus jika membeli langsung di rumah produksi. Jika membeli secara online, harganya menjadi Rp 25 ribu, dan jika membeli di toko oleh-oleh, harganya menjadi Rp 27 ribu.
Di balik kesuksesan Dendeng Pucuk Ubi Wak Idah, ada sosok Herina Yuni Utami, seorang guru honorer yang memiliki semangat wirausaha yang tinggi. Ia mengaku dendeng dengan bahan daun pucuk ubi ini merupakan yang pertama di Indonesia.
“Dendeng pucuk ubi ini asli Lubuklinggau dan untuk saat ini pertama di Indonesia. Mungkin pernah ada dendeng pucuk ubi di daerah lain seperti Sumatera Barat, tapi belum terlalu gonasional dan perjuangan kami untuk mendapatkan BPOM itu 2,5 tahun karena kategori dendeng sayur itu baru pertama kali,” katanya saat ditemui detikSumbagsel, Senin (27/10/2025).
“Hal ini dibantu juga oleh lokal POM dari BPOM Lubuklinggau supaya dinaikkan terus ke pusat supaya muncul kategori pangan yang baru. Kategori pangan yang baru itu keluar Agustus 2025 dan baru keluar izin edar BPOM-nya. Jadi ini pertama di Indonesia di kategori pangan baru,” lanjutnya.
Baca Juga:
Parung Panjang: Kisah di Balik Penutupan Tambang, Kompensasi, dan Harapan Warga
Herina menceritakan bahwa ide membuat Dendeng Pucuk Ubi Wak Idah muncul pada awal tahun 2020 saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia. Saat itu, banyak keluarga dan tetangganya yang mengalami pengangguran dan dirumahkan (PHK). Ia pun melihat banyak daun singkong di sekitar rumahnya dan terinspirasi untuk membuat dendeng pucuk ubi.
“Saya sebelumnya pernah jadi guru honorer. Karena suami dinas pindah-pindah, jadi saya ngajar pindah-pindah juga sambil jualan online. Kemudian ketika anak saya masuk SD, tidak mungkin pindah-pindah terus sehingga saya pindah ke Lubuklinggau dan menetap. Karena menganggur dan saya hobi jualan, jadi makanya saya coba dulu dendeng pucuk ubi,” ucapnya.
“Ini awal mulanya saat itu keluarga dan tetangga lagi banyak pengangguran dan dirumahkan (PHK). Kemudian kita lihat banyak daun singkong di sekitar rumah, jadi kita iseng mau buat dendeng pucuk ubi,” sambungnya.
Saat pertama kali membangun bisnis ini, kata Herina, produk Dendeng Pucuk Ubi Wak Idah miliknya menjadi viral dan laku keras. Namun, kesuksesan tersebut tidak berlangsung lama hingga usaha dendeng pucuk ubi ini hampir bangkrut.
“Awal tahun 2020 itu kita mempekerjakan 9 orang dan pemasaran kita lakukan di Facebook kemudian viral hingga penjualan sehari itu bisa 20 ribu pcs, itu kemasan biasa dengan harga Rp 5 – 10 ribu. Tapi itu tidak bertahan lama karena diawal itu kan kita tidak memiliki ilmu pengetahuan sama sekali jadi setelah viral kita jatuh drastis, jadi penjualannya turun sampai nol,” ungkapnya.
Setelah hampir bangkrut, Herina pun mulai bangkit dan mencoba mengikuti berbagai macam jenis perlombaan hingga akhirnya bisnis miliknya mulai sukses kembali.
“Jadi 2 tahun gagal kita mulai belajar lagi dan di tahun 2022 akhir itu kita ubah dendengnya dari yang awalnya basah jadi kering, kemudian kemasan kita ganti full printing. Karena kita pernah gagal dan kehilangan banyak konsumen, jadi kita mulai aktif ikut kompetisi dengan tujuan supaya bisa mendapat kepercayaan kembali,” jelasnya.
“Jadi kompetisi yang pertama yang kita ikuti yaitu kompetisi dari Kementerian Pariwisata yakni apresiasi kreasi Indonesia (AKI) di tahun 2023 dan menterinya waktu itu masih Sandiago Uno. Kemudian kompetisi kedua IKM award Sumsel yang diadakan Dinas Perindustrian Provinisi Sumatera Selatan hingga kita dapat juara 1 dan lanjut kompetisi nasional yaitu juragan zaman now hingga akhirnya mendapatkan endorse dan segala macamnya,” lanjutnya.
Setelah mengikuti perlombaan, Herina kemudian memulai pemasaran dengan menitip ke toko oleh-oleh di Lubuklinggau, kemudian masuk ke Palembang, Lampung, Batam, Malang, hingga Yogyakarta.
“Terakhir ini kita mengadakan kerjasama ke supermarket di Bengkulu dan Lubuklinggau. Saat ini sedang diteruskan surat supaya bisa masuk ke supermarket lainnya yang di Lahat, Baturaja, dan 3 cabang lainnya di kota Palembang,” ujarnya.
Herina membeberkan bahwa dalam sehari, bisnis dendeng pucuk ubi miliknya bisa membuat sebanyak 500 pcs per hari dan memiliki omset mencapai dua digit per bulannya.
“Setiap pembuatan 1 kali mengantar daun singkong itu bisa menghasilkan 300 sampai 500 pcs untuk 100 ikat daun pucuk ubi dengan kualitas bagus. Kita punya petani-petani khusus yang menanam daun ubi yang hanya dijual ke kami. Omset kita Alhamdulillah itu mulai dari viral dulu sampai pernah tinggi sampai sekarang tumbuh pesat dari 2023 mulai 1 digit sekarang sudah di angka 2 digit,” bebernya.
“Jadi kita berharap nanti omsetnya bisa naik lagi ke depannya dan kita juga ingin maju terus untuk usaha dendeng ini,” tutupnya.
Baca Juga:
Surga Tercoreng? Heboh “Getok Harga” di Labuan Bajo Ancam Citra Pariwisata NTT
Kisah inspiratif Herina Yuni Utami membuktikan bahwa dengan semangat pantang menyerah, inovasi, dan kreativitas, siapa pun dapat meraih kesuksesan dalam berbisnis. Dendeng Pucuk Ubi Wak Idah bukan hanya sekadar camilan lezat, tetapi juga simbol dari kebangkitan ekonomi lokal dan semangat kewirausahaan yang membara di Lubuklinggau.



