Menu

Mode Gelap

Wisata · 1 Nov 2025 12:26 WIB

Loksado Mendunia: UNESCO Nobatkan Bamboo Rafting & Geopark Meratus Jadi Ikon


 Loksado Mendunia: UNESCO Nobatkan Bamboo Rafting & Geopark Meratus Jadi Ikon Perbesar

HULU SUNGAI SELATAN – Sebuah kebanggaan membahana dari jantung Kalimantan Selatan! Loksado, sebuah kecamatan yang bersembunyi di antara perbukitan Pegunungan Meratus, kini menjelma menjadi ikon wisata alam dunia berkat pesona bamboo rafting dan pengakuan UNESCO terhadap Geopark Meratus. Lebih dari sekadar destinasi wisata, Loksado menawarkan pengalaman yang menyentuh jiwa, menggabungkan keindahan alam yang memesona, budaya Suku Dayak Meratus yang kaya, dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan.

Pengakuan Geopark Meratus oleh UNESCO bukan hanya sekadar simbol, tetapi juga sebuah babak baru bagi Loksado dan masyarakat Suku Dayak Meratus. Hal ini membuka pintu bagi Loksado untuk bersinar di panggung pariwisata internasional, menarik perhatian wisatawan dari berbagai penjuru dunia yang haus akan pengalaman yang autentik dan berkelanjutan.

Di Loksado, wisatawan dapat menikmati suasana alam hutan tropis yang masih perawan di tepi Sungai Amandit, Desa Lok Lahung. Suara gemericik air sungai yang khas, membelah keheningan hutan, membawa kita ke suasana tenang yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Udara segar yang memenuhi paru-paru, pemandangan hijau yang memanjakan mata, dan keramahan masyarakat lokal menciptakan harmoni yang sempurna untuk melepaskan diri dari stres dan menikmati kedamaian.

Namun, daya tarik utama Loksado terletak pada bamboo rafting, sebuah petualangan menyusuri Sungai Amandit menggunakan rakit bambu tradisional. Thomas Harianto, seorang penduduk asli Suku Dayak Meratus, adalah salah satu dari sekian banyak “penjoki” yang setiap hari bersemangat merakit bambu-bambu berdiameter lengan orang dewasa menjadi sebuah rakit yang kokoh. Rakit ini kemudian digunakan untuk memandu wisatawan menyusuri alam hutan tropis Pegunungan Meratus.

Thomas, bersama 40 penjoki lainnya, telah menggeluti profesi ini sejak tahun 2015. “Kala itu, kami menamakan rakit bambu itu dengan sebutan Lanting, kini lebih akrab dikenal dengan sebutan Bamboo Rafting,” kata dia menjelaskan. Dari pinggir sungai, mereka mulai memacu Bamboo Rafting menggunakan tongkat bambu sebagai alat pengendali, memandu wisatawan untuk menyusuri Sungai Amandit yang membelah alam hutan tropis Pegunungan Meratus.

Medan sungai yang masih alami menjadi tantangan tersendiri, apalagi ketika debit air sungai meningkat yang akan memacu adrenalin karena derasnya arus sungai. Belum lagi batu-batu besar dan dahan pohon rimbun yang jatuh menghambat jalur sungai. Berbagai tantangan itu justru menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal dan mancanegara untuk menaklukkan Sungai Amandit.

Sepanjang perjalanan, wisatawan akan disuguhi keragaman hasil kejadian bumi (geologi) seperti batuan kelompok Malihan berumur 108-182 juta tahun yang lalu (Jura Tengah) dan batuan hasil aktivitas vulkanik, yakni kelompok Granit Batanglai/Belawaian berumur 96-135 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir). Informasi ini memberikan wawasan yang lebih dalam tentang sejarah geologi kawasan Meratus.

Selain itu, wisatawan juga dapat melihat keragaman tanaman khas Hutan Hujan Tropis, aktivitas peladangan/perkebunan khas Suku Dayak Meratus, pohon bambu sebagai bahan untuk membuat rakit. Bambu kawasan ini tumbuh subur karena berada pada tanah hasil dari pelapukan batuan produk aktivitas vulkanik.

Setelah menempuh jarak rute terjauh sekitar 14 kilometer, para wisatawan menggunakan jasa transportasi penduduk setempat untuk kembali ke penginapan, ongkosnya puluhan ribu rupiah. Hal ini memberikan kontribusi langsung kepada perekonomian masyarakat lokal.

Untuk Bamboo Rafting, Thomas dan penjoki lain biasanya menarif harga Rp200 ribu hingga Rp300 ribu untuk satu kali perjalanan dengan rute terpendek 30 menit dan rute terjauh 3 jam. Harga ini sebanding dengan pengalaman yang didapatkan, yaitu petualangan yang tak terlupakan di tengah alam yang masih asri.

Berkat Bamboo Rafting, ada ekonomi gotong royong yang menumbuhkan pendapatan warga setempat. Bukan hanya para penjoki yang mendapat rezeki melimpah, tetapi juga warga setempat. Warga mandiri secara ekonomi dengan memberikan jasa ojek, membuka rumah makan, penginapan, sewa alat wisata, berbagai usaha mikro, serta jasa dan fasilitas lain yang dibutuhkan wisatawan.

Konsep ekonomi gotong royong ini sejalan dengan nilai-nilai budaya Suku Dayak Meratus yang menjunjung tinggi kebersamaan dan saling membantu.

Sebelum tahun 1994, aktivitas Bamboo Rafting atau Lanting ini dulu menjadi alat transportasi air bagi masyarakat Dayak di Loksado. Penduduk setempat membawa hasil panen hutan dan kebun untuk dijual ke kota dan belanja kebutuhan dapur.

Karena akses darat yang hanya jalan setapak dan sulit dilalui, lanting ini menjadi satu-satunya transportasi bagi Suku Dayak Meratus untuk menyusuri Sungai Amandit. Seiring meningkatnya pembangunan infrastruktur, Bamboo Rafting kini dimanfaatkan menjadi wisata unggulan. Transformasi ini menunjukkan bagaimana kearifan lokal dapat diadaptasi dan dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata yang berkelanjutan.

Memasuki tahun 2015, beberapa penduduk setempat mulai menawarkan jasa transportasi lanting untuk memperoleh pendapatan. Mereka membuka jasa joki mengantar warga ke berbagai di sepanjang jalur Sungai Amandit. Inisiatif ini merupakan awal mula dari pengembangan Bamboo Rafting sebagai produk wisata.

Pada tahun 2016, wisata ini mulai terkenal melalui Festival Loksado sebagai event pariwisata unggulan, kini lebih dikenal dengan nama Festival Bamboo Rafting. Meningkatnya jumlah wisatawan menjadi ladang ekonomi bagi para penjoki Bamboo Rafting.

Festival Bamboo Rafting memadukan berbagai potensi atraksi budaya dan wisata alam yang berakar dari budaya dan tradisi masyarakat adat Dayak di Pegunungan Meratus, dengan atraksi utamanya “Bamboo Rafting” yaitu atraksi wisata menyusuri jeram Sungai Amandit menggunakan rakit bambu. Festival ini menjadi ajang promosi yang efektif untuk memperkenalkan Loksado ke dunia luar.

“Bamboo Rafting bukan sekadar wisata air, tetapi merupakan warisan tradisi masyarakat Dayak Meratus yang telah menjadi ikon kebanggaan daerah,” kata Sekretaris Daerah (Sekda) Hulu Sungai Selatan Muhammad Noor.

Baca Juga:
Banten Bangga! Atlet Renang Sumbang 5 Emas di Popnas 2025

Pernyataan ini menegaskan bahwa Bamboo Rafting bukan hanya sekadar produk wisata, tetapi juga merupakan bagian dari identitas budaya Suku Dayak Meratus.

Pada 2018 Bamboo Rafting dan 53 situs lain menjadi bagian Geopark Meratus dan resmi ditetapkan sebagai Geopark Nasional melalui Komite Nasional Geopark Indonesia. Geopark sebuah kawasan geografis dengan warisan geologi yang bernilai tinggi, mencakup keanekaragaman hayati dan budaya, dan dikelola secara terpadu untuk konservasi, edukasi, dan pembangunan berkelanjutan.

Penetapan sebagai Geopark Nasional merupakan langkah penting untuk melindungi dan melestarikan warisan geologi, keanekaragaman hayati, dan budaya di kawasan Meratus.

Geopark Meratus memiliki 54 situs mulai dari rute timur, selatan, barat, dan utara. Bamboo Rafting Loksado menjadi situs ke-49 terletak di rute utara dengan karakteristik situs biologi, dan dengan fungsi utama untuk wisata alam, penelitian, dan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa Bamboo Rafting memiliki nilai yang signifikan dalam konservasi, edukasi, dan pembangunan berkelanjutan.

Berkat komitmen pemerintah daerah pula, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) telah mengakui Geopark Meratus sebagai warisan geologi (kejadian bumi), dan resmi masuk anggota UNESCO Global Geopark (UGGp).

Pengakuan ini dibuktikan dengan diterimanya sertifikat UGGp untuk Geopark Meratus oleh Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Muhidin di Prancis pada 3 Juni 2025. Pengakuan UNESCO merupakan puncak dari upaya panjang dan berkelanjutan untuk melindungi dan melestarikan warisan alam dan budaya di kawasan Meratus.

Sekda Provinsi Kalsel Muhamad Syarifuddin mengungkapkan keberadaan Geopark Meratus terhadap Bamboo Rafting merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat yang akan terus menghidupkan ekonomi penduduk desa, terlebih setelah resmi mendapat pengakuan dari UNESCO. Hal ini menunjukkan bahwa UNESCO melihat potensi besar dalam Geopark Meratus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.

“Banyak masyarakat berinvestasi, membuka rumah makan, menyediakan penginapan bagi wisatawan, usaha mikro dan kecil, dan banyak usaha lainnya,” kata Syarifuddin menjelaskan.

Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan UNESCO telah mendorong pertumbuhan ekonomi di Loksado dan kawasan Meratus secara keseluruhan.

Dengan budaya suku Dayak yang masih terjaga, pemerintah daerah setempat merancang Geopark Meratus sebagai langkah kolaborasi bersama masyarakat adat untuk menjaga dan memperkuat upaya pelestarian alam di Pegunungan Meratus. Kolaborasi ini merupakan kunci keberhasilan dalam menjaga kelestarian alam dan budaya di kawasan Meratus.

Dengan penguatan infrastruktur, Loksado yang telah menjadi kawasan strategis pariwisata nasional dengan berbagai event setiap tahun dalam Kharisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata, memiliki daya tarik khusus bagi para wisatawan lokal hingga mancanegara. Hal ini menunjukkan bahwa Loksado memiliki potensi yang besar untuk menjadi destinasi wisata unggulan di Indonesia.

Ikhtiar memperluas akses ekonomi penduduk setempat nampaknya terus berlanjut dengan dibukanya penerbangan internasional dari Provinsi Kalsel langsung menuju ke Malaysia dan sebaliknya, dengan rute Bandara Syamsudin Noor Banjarbaru-Kuala Lumpur. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Loksado dan kawasan Meratus.

Langkah nyata itu menjadi harapan besar bagi pertumbuhan ekonomi penduduk Suku Dayak Meratus di Loksado, karena akan semakin banyak wisatawan mengunjungi Bamboo Rafting, apalagi setelah Geopark Meratus resmi diakui UNESCO. Pengakuan UNESCO diharapkan dapat membuka peluang baru bagi pengembangan pariwisata di Loksado dan kawasan Meratus.

“Dengan adanya geopark, Loksado semakin dikenal dengan keunikan wisata dan adat budaya suku Dayak,” kata Anggota Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Lok Lahung, Sano.

Pengakuan UNESCO diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian alam dan budaya di Loksado.

Penduduk Suku Dayak Meratus mengharapkan keberadaan Geopark Meratus dapat memperkuat peran pemerintah dan warga dalam menjaga kelestarian alam. Mereka tidak menginginkan adanya perubahan mencolok terhadap alam. Harapan ini mencerminkan komitmen kuat masyarakat Suku Dayak Meratus untuk menjaga warisan alam dan budaya mereka.

Jangan sampai Geopark Meratus memberikan celah bagi para kelompok tertentu yang merusak lingkungan untuk menggali kekayaan alam dan hutan Meratus. Masyarakat lokal memiliki kekhawatiran terhadap potensi ancaman kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam.

Mereka yang telah tinggal lama sebagai penduduk asli secara turun temurun, berkomitmen kuat menjaga alam Pegunungan Meratus demi keberlanjutan lingkungan dan kehidupan anak dan cucu. Komitmen ini merupakan fondasi yang kuat untuk memastikan bahwa Loksado tetap menjadi destinasi wisata yang berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi generasi mendatang.

Baca Juga:
UMKM Menang? Shopee Hingga Tokopedia Turuti Pemerintah, ‘Takedown’ Lapak Thrifting

Loksado telah membuktikan bahwa pariwisata dapat menjadi mesin penggerak ekonomi yang berkelanjutan, asalkan dikelola dengan bijak dan bertanggung jawab. Dengan menjaga kelestarian alam, menghormati budaya lokal, dan memberdayakan masyarakat, Loksado dapat terus bersinar di panggung pariwisata internasional dan menjadi inspirasi bagi destinasi wisata lainnya di Indonesia dan di seluruh dunia.

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Musim Hujan Tiba, Liburan Jadi Bencana? Hindari 5 Destinasi Wisata Ini!

12 November 2025 - 19:47 WIB

Ironi Kasteel Batavia: Kejayaan VOC Terkubur Sampah dan Truk, Pemerintah Angkat Tangan?

12 November 2025 - 19:38 WIB

Kali Cokel Pacitan: “Amazon” di Jawa Timur yang Wajib Dikunjungi!

12 November 2025 - 18:45 WIB

Banten Berkomitmen: Pariwisata Inklusif dengan Pelatihan Pemandu Disabilitas

12 November 2025 - 18:10 WIB

Pesona Sunset di CityBeach Panjibuwono: Destinasi Wisata Gratis yang Wajib Dikunjungi di Bekasi

12 November 2025 - 07:53 WIB

WNA Jadi Pemandu Wisata Ilegal di Thailand: Warga Lokal Geram, Pemerintah Harus Bertindak!

11 November 2025 - 20:59 WIB

Trending di Wisata