BOGOR – Di sebuah pagi yang cerah di Cibinong, Kabupaten Bogor, denyut kehidupan tampak sedikit berbeda dari biasanya. Gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor menjadi saksi bisu penyaluran dana kompensasi tahap pertama bagi warga yang terdampak penutupan sementara tambang di Parung Panjang, Cigudeg, dan Rumpin. Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini menjadi oase di tengah gurun pasir bagi sebagian masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada aktivitas pertambangan.
Salah satu penerima kompensasi adalah Jaya, seorang pria berusia 50 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai sopir truk pengangkut material tambang. Dengan mata berbinar, Jaya mengungkapkan rasa syukur dan terima kasihnya kepada Gubernur Jawa Barat atas kebijakan yang berpihak kepada masyarakat kecil.
“Ya alhamdulillah, berkat gubernur ada kebijakan untuk masyarakat yang terdampak. Alhamdulillah untuk saat ini dibantu sama bapak gubernur kita,” ujarnya dengan nada penuh haru.
Namun, di balik rasa syukur itu, tersimpan kisah perjuangan dan adaptasi yang tak mudah. Jaya bercerita bahwa sejak penutupan sementara tambang di wilayah Cigudeg, Parung Panjang, dan Rumpin, dirinya bersama rekan-rekan sopir truk lainnya harus memutar otak mencari nafkah alternatif.
Pilihan pun jatuh pada mengangkut material dari Cilegon, Banten, sebuah perjalanan yang jauh dan melelahkan.
“Sebelum ditutup (tambang) kan lancar ya, satu malam satu rit. Sesudah ditutup kita (sopir truk) pindah ke Cilegon, jadi 90 persen pindah ke Cilegon semua ngambil barang ke Cilegon,” ungkap Jaya.
Namun, pekerjaan baru ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Para sopir kini harus menghadapi antrean panjang di lokasi tambang dan pembatasan jam operasional yang ketat.
“Alhamdulillah sih, tiga hari tiga malam satu rit. Di sana kan ngetem, di quari numpuk mobil lamanya di sana di quarinya tempat penggilingannya. Sekarang ke sini-sini, baru kemarin ya ada aturan lagi malam keluarnya, siangnya gak boleh, pada demo semua masyarakat di sana,” tutur Jaya dengan nada prihatin.
Kisah Jaya adalah cerminan dari ribuan warga lainnya yang terdampak langsung oleh penutupan tambang. Bukan hanya sopir truk, tetapi juga para pemilik warung, pedagang kaki lima, kuli panggul, dan berbagai profesi lainnya yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem pertambangan.
Penutupan tambang bagaikan palu godam yang menghantam perekonomian mereka, membuat mereka terhuyung-huyung mencari pegangan.
Baca Juga:
KUR 2025: Modal Usaha Mudah, Bunga Ringan! Simak Syarat dan Cara Mendapatkannya!
Meskipun telah menerima bantuan kompensasi sebesar Rp 3 juta pada tahap pertama, Jaya bersama para sopir lainnya tetap menyimpan harapan agar tambang di wilayah Bogor dapat dibuka kembali seperti semula.
Mereka meyakini bahwa pembukaan kembali tambang akan menghidupkan kembali roda perekonomian masyarakat, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi angka pengangguran.
“Menurut para sopir sih ya seperti biasalah, kan dampaknya banyak ya. Tukang warung banyak, bukan sopir aja, sama yang naikin itu kan gak sedikit yang terdampak mungkin ribuan kan dari Kecamatan Rumpin sampai Tangerang banyak yang biasa di jalan kuli dan lain-lain. Ya harapannya dibuka lagi lah seperti semula,” ujar Jaya dengan nada penuh harap.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sendiri telah menjanjikan akan memberikan tambahan kompensasi sebesar Rp 6 juta pada Januari 2026. Namun, bagi sebagian warga, kompensasi bukanlah solusi jangka panjang. Mereka membutuhkan pekerjaan yang menghasilkan dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Penutupan tambang Parung Panjang menjadi momentum bagi kita semua untuk merenungkan kembali dampak dari aktivitas pertambangan terhadap lingkungan dan masyarakat.
Di satu sisi, pertambangan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian daerah dan nasional. Namun, di sisi lain, pertambangan juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan ketidakadilan ekonomi.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat harus duduk bersama mencari solusi yang terbaik bagi semua pihak. Pertambangan harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip экология, sosial, dan ekonomi.
Selain itu, pemerintah juga harus memberikan perhatian khusus kepada masyarakat yang terdampak penutupan tambang. Mereka harus diberikan pelatihan keterampilan, modal usaha, dan akses ke lapangan kerja alternatif. Dengan demikian, mereka dapat bangkit kembali dan menata kehidupan yang lebih baik.
Kisah di balik penutupan tambang Parung Panjang adalah kisah tentang harapan, perjuangan, dan ketahanan masyarakat. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah kebijakan dapat mengubah hidup ribuan orang.
Baca Juga:
Banten Geger! Tim Sepak Bola Sapu Bersih 2 Laga di Popnas: Juara Grup di Depan Mata!
Ini adalah kisah yang harus kita dengar dan pelajari, agar kita dapat membangun masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua.









