PROLOGMEDIA – Bahlil Lahadalia, beberapa waktu lalu, menjelaskan bahwa upaya perbaikan tata kelola pertambangan di Indonesia kini memasuki babak tegas: pemerintah mengambil langkah mencabut ratusan izin usaha pertambangan (IUP) dari perusahaan-perusahaan yang dinilai tidak produktif dan tidak beroperasi sesuai peruntukan.
Menurut Bahlil, banyak dari perusahaan tambang yang izinnya dicabut itu berkantor pusat di Jakarta, tetapi kontribusinya terhadap daerah penghasil — dalam hal lapangan kerja, pembangunan, maupun dampak ekonomi lokal — sangat minimal. Dengan demikian, penataan ulang ini bukan sekadar soal administratif, melainkan upaya untuk menghadirkan keadilan bagi daerah penghasil serta memastikan bahwa eksploitasi sumber daya alam tidak hanya menguntungkan korporasi besar di pusat, tapi benar-benar berdampak positif bagi masyarakat lokal.
Bahlil menegaskan bahwa reformasi ini didasarkan perubahan dalam regulasi, yakni revisi pada undang-undang pertambangan mineral dan batubara (Minerba). Dengan regulasi yang lebih tegas, pemerintah kini memiliki otoritas untuk mencabut IUP dari perusahaan yang terbukti bermasalah — misalnya karena tidak menjalankan kegiatan tambang sesuai komitmen, atau karena izin mereka tidak diiringi dengan aktivitas nyata di wilayah konsesi.
Penekanan lain dari Bahlil adalah perlunya aspek keberlanjutan lingkungan dalam setiap aktivitas pertambangan. Meski ia memahami bahwa sebagai mantan pengusaha, pelaku usaha memang mencari keuntungan, ia mengingatkan bahwa eksploitasi sumber daya alam tidak boleh dilakukan dengan cara merusak lingkungan. Bagi Bahlil, pertambangan harus dilaksanakan dengan “wawasan lingkungan,” agar generasi mendatang tidak menanggung dampak negatif dari keputusan saat ini.
Baca Juga:
Luhut Beberkan Asal-Usul Bandara IMIP dan Polemik Status Penerbangan di Morowali
Ia mengatakan: ekonomi dan investasi boleh berkembang — tetapi tidak boleh mengorbankan alam. Ini adalah bagian dari tanggung jawab bersama sebagai bangsa untuk mewariskan warisan alam yang lestari bagi anak cucu.
Di sisi lain, keputusan ini juga mencerminkan komitmen untuk menciptakan peluang yang lebih adil bagi pengusaha lokal, terutama pelaku usaha di daerah. Selama ini, menurut Bahlil, mekanisme perizinan cenderung mendukung perusahaan besar dengan jaringan luas — seringkali di pusat — sehingga pengusaha lokal sulit untuk bersaing mendapatkan akses legal. Dengan penataan ulang ini, diharapkan distribusi izin tambang bisa lebih merata, memberi ruang bagi daerah penghasil untuk ikut merasakan manfaat dari kekayaan alam di wilayahnya.
Meski Bahlil mengakui bahwa penerapan standar lingkungan dan pengetatan izin akan memberi tantangan baru bagi pelaku usaha, ia meminta semua pihak untuk menerima konsekuensi tersebut sebagai langkah mutlak. Baginya, ini bukan sekadar kebijakan birokratis, melainkan bagian dari tanggung jawab sosial dan lingkungan yang harus dipegang teguh.
Reformasi di sektor pertambangan ini sekaligus hendak mematahkan paradigma lama: bahwa pertambangan identik dengan eksploitasi tak terkendali dan keuntungan melulu untuk segelintir elit. Bahlil berharap, dengan regulasi baru dan penegakan yang ketat, praktik pertambangan di Indonesia bisa berubah — menjadi lebih transparan, bertanggung jawab lingkungan, dan adil bagi seluruh pihak, terutama masyarakat di daerah penghasil.
Baca Juga:
Makanan Aman Dikonsumsi Meski Sudah Lewat Tanggal Kedaluwarsa – Ini 4 Contohnya
Langkah pencabutan izin massal ini menandai sebuah titik balik dalam kebijakan pertambangan nasional. Tidak hanya sebagai simbol komitmen, tetapi sebagai langkah nyata untuk memperbaiki tata kelola, menjaga kelestarian alam, dan memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam memberi manfaat luas — tak hanya bagi investor, tapi juga bagi rakyat dan generasi mendatang.









