Sejak lama, rokok kerap diasosiasikan dengan ketenangan, bahkan pelarian dari stres. Sebatang rokok dianggap mampu meredakan kegelisahan, menghadirkan fokus, dan menenangkan pikiran yang kalut.
Namun, benarkah demikian? Penelitian terbaru justru mengungkap fakta yang mengejutkan: perokok lebih rentan mengalami gangguan mental, mulai dari kecemasan, depresi, hingga gangguan tidur.
Ironisnya, banyak orang merokok justru untuk mengatasi stres. Padahal, efek “tenang” yang ditawarkan nikotin hanyalah ilusi sesaat. Di balik sensasi itu, tersembunyi reaksi kimia yang justru menjerat otak dalam lingkaran ketergantungan.
Begitu kadar nikotin menurun, perasaan cemas dan gelisah kembali menghantui, bahkan dengan intensitas yang lebih tinggi. Dari sinilah siklus stres dan kecanduan dimulai, bagai lingkaran setan yang sulit diputuskan.
Nikotin: Candu yang Menyesatkan Otak
Nikotin, kandungan utama dalam rokok, adalah zat adiktif yang sangat kuat. Dalam hitungan detik setelah dihirup, nikotin langsung menyerbu otak dan memicu pelepasan dopamin, senyawa kimia yang bertanggung jawab atas perasaan senang dan fokus. Sensasi euforia ini memang terasa nikmat, namun sayangnya, tidak berlangsung lama.
Ketika kadar nikotin dalam darah menurun, kadar dopamin pun ikut merosot, menyebabkan perubahan suasana hati menjadi buruk dan memunculkan dorongan kuat untuk merokok lagi.
Kondisi ini memaksa perokok untuk terus-menerus mengonsumsi nikotin, demi mempertahankan sensasi euforia dan menghindari perasaan tidak nyaman.
Lama-kelamaan, otak menjadi “malas” memproduksi dopamin secara alami tanpa bantuan nikotin.
Akibatnya, perokok akan merasa kesulitan untuk merasakan kebahagiaan atau ketenangan tanpa sebatang rokok. Mereka menjadi sepenuhnya bergantung pada nikotin, dan terjebak dalam lingkaran kecanduan yang merusak.
Rokok dan Depresi: Hubungan yang Saling Memperburuk
Penelitian menunjukkan bahwa perokok memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi. Nikotin memang memberikan sensasi euforia singkat, namun tubuh kemudian menagih efek yang sama secara terus-menerus. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, suasana hati akan memburuk, dan gejala depresi pun dapat muncul atau semakin parah.
Beberapa studi juga menemukan bahwa perokok berat cenderung memiliki kadar serotonin dan dopamin yang lebih rendah. Serotonin dan dopamin adalah dua zat penting yang berperan dalam menjaga kestabilan emosi dan rasa bahagia.
Baca Juga:
Nggak Perlu ke Eropa! 5 Kota Terdingin di Indonesia Ini Punya Pesona yang Bikin Nagih!
Kekurangan kedua zat ini dapat memicu depresi, kecemasan, dan gangguan suasana hati lainnya.
Ironisnya, rokok sering dianggap sebagai “penolong” bagi sebagian orang yang mengalami depresi. Padahal, nikotin justru memperburuk gejala kecemasan dalam jangka panjang.
Ketika efek nikotin hilang, tubuh akan mengalami reaksi mirip dengan serangan panik, seperti detak jantung meningkat, napas pendek, dan pikiran menjadi tidak menentu.
Inilah alasan mengapa banyak perokok merasa tidak bisa berhenti merokok, bukan karena kenikmatannya, tetapi karena tubuh mereka menolak rasa cemas yang muncul ketika tidak merokok. Mereka terjebak dalam lingkaran setan, di mana rokok menjadi “obat” sekaligus “penyebab” masalah mereka.
Risiko Lebih Berat bagi Penderita Gangguan Mental
Bagi mereka yang sudah memiliki gangguan mental seperti depresi berat atau skizofrenia, rokok dapat memperburuk kondisi mereka.
Beberapa penelitian menemukan bahwa perokok dengan gangguan mental lebih sulit pulih dan memiliki harapan hidup lebih pendek dibandingkan dengan non-perokok.
Selain itu, nikotin juga dapat mengganggu efektivitas obat antidepresan dan obat penenang. Hal ini mempersulit proses penyembuhan dan membuat penderita gangguan mental semakin bergantung pada rokok sebagai “pelarian” sementara.
Harapan Baru: Berhenti Merokok dan Raih Kesehatan Mental
Berita baiknya, berhenti merokok dapat membawa perubahan besar, tidak hanya untuk kesehatan fisik, tetapi juga untuk kesehatan mental. Setelah beberapa minggu tanpa nikotin, kadar dopamin dan serotonin dalam otak mulai kembali normal.
Banyak mantan perokok mengaku bahwa mereka tidur lebih nyenyak, merasa lebih tenang, dan memiliki energi yang lebih stabil setelah berhenti merokok.
Mereka juga merasakan peningkatan yang signifikan dalam suasana hati dan kemampuan mereka untuk mengelola stres.
Berhenti merokok memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Dengan tekad yang kuat, dukungan dari keluarga dan teman, serta bantuan dari tenaga medis profesional, siapa pun dapat membebaskan diri dari jeratan rokok dan meraih kembali kesehatan mental yang optimal.
Jadi, masihkah Anda percaya bahwa rokok dapat menenangkan pikiran? Fakta telah membuktikan sebaliknya.
Baca Juga:
Makan Bergizi Gratis: Skema Insentif Harian untuk Guru Pelaksana Ditetapkan
Rokok bukan hanya merusak paru-paru, tetapi juga dapat memperburuk stres, kecemasan, dan depresi. Berhentilah merokok sekarang, dan berikan diri Anda kesempatan untuk meraih kesehatan mental yang lebih baik.









