JAKARTA – Di tengah gemerlap kota metropolitan Jakarta, tersembunyi sebuah ironi yang menyayat hati. Lahan semakin sempit, bukan hanya untuk tempat tinggal, tetapi juga untuk peristirahatan terakhir. Krisis lahan pemakaman di Ibu Kota memaksa warganya untuk menghadapi pilihan sulit: memakamkan orang-orang terkasih di tempat yang jauh dari jangkauan, atau memanfaatkan sistem pemakaman tumpang yang semakin lazim di berbagai Taman Pemakaman Umum (TPU).
Pada tanggal 5 November 2025, Kompas.com mengangkat kisah pilu ini, menyoroti potret makam tumpang di Jakarta, khususnya di TPU Karet Pasar Baru Barat. Sebuah tempat di mana satu liang lahat menjadi saksi bisu bagi banyak nama, banyak keluarga, dan banyak cerita.
Pemakaman Tumpang: Solusi yang Diatur dalam Perda
Kepala Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Pusat, Mila Ananda, menjelaskan bahwa kebijakan pemakaman tumpang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pelayanan Pemakaman.
Dalam aturan tersebut, satu petak makam idealnya dapat digunakan untuk maksimal tiga jenazah, dengan jarak waktu antar pemakaman minimal tiga tahun.
Namun, kondisi ideal ini semakin sulit diterapkan di lapangan. Terbatasnya lahan pemakaman membuat praktik tumpang sering kali melampaui batas tiga jenazah.
“Karena lahan yang sangat terbatas, bahkan satu petak bisa dimakamkan lebih dari tiga orang. Tapi semuanya tetap atas persetujuan ahli waris yang dituangkan dalam surat pernyataan,” jelas Mila.
TPU Karet Pasar Baru Barat: Potret Nyata Krisis Lahan Pemakaman
TPU Karet Pasar Baru Barat di Karet Tengsin, Tanah Abang, adalah contoh nyata dari krisis lahan pemakaman yang melanda Jakarta. Di antara pepohonan rindang dan nisan-nisan tua yang berdiri rapat, suasana sunyi berpadu dengan hiruk-pikuk Jalan KH Mas Mansyur yang hanya berjarak beberapa meter dari gerbang makam.
Memasuki area TPU ini, pengunjung akan langsung disuguhi pemandangan padat nisan yang berdiri saling berhimpitan. Di beberapa titik, tanah makam tampak bergelombang, sebagian lebih tinggi karena sudah beberapa kali dibuka untuk pemakaman tumpang.
Satu Liang, Banyak Nama: Kisah di Balik Nisan
Baca Juga:
Hyundai Kepincut Proyek Mobil Nasional! Indonesia Bakal Jadi Pusat Otomotif Hijau?
Petugas operator TPU, Ade Rendra, menunjuk salah satu makam di Blok AA1. Di situ tampak sebuah nisan bertuliskan tiga nama berbeda: ayah, ibu, dan anak, berjejer dalam satu batu granit.
“Ini contoh makam tumpang tiga. Satu liang, tapi di sini sudah ada tiga jenazah. Tanahnya juga lebih tinggi dibanding makam lain karena sudah tiga kali dibuka,” kata Ade.
Hampir 90 persen permintaan pemakaman di TPU tersebut kini merupakan permintaan tumpang keluarga lama. “Rata-rata empat orang satu liang. Kadang bisa lima atau enam kalau memang masih memungkinkan dan ahli waris setuju,” ungkapnya.
Antara Kesedihan dan Keinginan untuk Bersama
Di sela-sela lorong sempit antara makam, beberapa pengunjung tampak menabur bunga dan membakar kemenyan. Salah satunya, Usmi (47), warga Bendungan Hilir yang sedang berziarah ke makam orangtuanya.
“Ayah dan ibu saya dimakamkan di sini. Sekarang kakak saya juga baru ditumpang di liang yang sama minggu lalu. Rasanya campur aduk, tapi kami ingin mereka tetap bersama,” tutur Usmi sambil menyeka mata.
Bagi banyak keluarga lama di Tanah Abang, TPU Karet Pasar Baru Barat memiliki nilai sentimental yang tinggi. “Sudah turun-temurun keluarga kami di sini. Jadi meskipun penuh, kami tetap memilih ditumpang di tempat yang sama,” kata Usmi lirih.
Setiap Langkah adalah Potongan Kisah Hidup
Di TPU Karet Pasar Baru Barat, setiap langkah di antara nisan adalah potongan kisah hidup warga kota. Kisah tentang cinta, kehilangan, dan keinginan untuk tetap bersama, bahkan setelah kematian. Krisis lahan pemakaman di Jakarta bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah kemanusiaan yang menyentuh hati.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu mencari solusi yang lebih komprehensif untuk mengatasi krisis ini. Selain mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang ada, perlu juga dipikirkan alternatif lain, seperti kremasi atau pembangunan pemakaman vertikal.
Baca Juga:
Eksplorasi Bandung 2025: Temukan 10 Hidden Gem yang Menawarkan Ketenangan dan Keindahan Alam
Namun, di atas semua itu, yang terpenting adalah menghormati hak setiap warga untuk mendapatkan tempat peristirahatan terakhir yang layak. Karena di balik setiap nisan, terukir nama dan kisah yang patut dikenang.









