PROLOGMEDIA – Menjelang tahun 2026, harga rumah subsidi resmi diputuskan tidak akan mengalami kenaikan, sebuah keputusan yang disambut dengan rasa pasrah oleh para pengembang perumahan subsidi. Pernyataan ini disampaikan oleh pimpinan salah satu asosiasi pengembang besar, yang mengatakan bahwa mereka bisa menerima keputusan tersebut terutama untuk proyek-proyek di Pulau Jawa, meskipun dalam kenyataannya mereka tengah menghadapi lonjakan biaya material yang signifikan.
Menurut sang pengembang, ada dilema yang muncul: di satu sisi rumah subsidi tetap dibanderol dengan harga lama, namun di sisi lain harga bahan bangunan meningkat. Ia memberi contoh konkret pada proyek perumahan subsidi di wilayah Cilegon, Banten, di mana terjadi kelangkaan bahan dasar seperti pasir dan batu akibat penutupan tambang sementara di Jawa Barat. Dampaknya langsung terasa, harga satu rit pasir untuk fondasi melonjak dari Rp 800.000 menjadi Rp 900.000, bahan pasir cor yang semula seharga Rp 1.000.000 ikut naik, demikian pula harga batu per truk naik dari Rp 900.000 menjadi Rp 1.000.000. “Para kontraktor kita kewalahan dengan naiknya harga material,” ungkapnya.
Meskipun demikian, sang pengembang mengaku masih bisa menerima kebijakan harga rumah subsidi tetap. Dia menyebut bahwa apabila keputusan itu sudah dipertimbangkan matang-matang oleh pemerintah secara nasional, mereka hanya bisa “mau tidak mau” menerimanya. Namun, di daerah-daerah seperti Cilegon, lonjakan harga material benar-benar membuat beban pembiayaan proyek meningkat. Untuk sebagian besar wilayah di Indonesia, mereka menilai keputusan mempertahankan harga sebagai sesuatu yang masih bisa ditoleransi.
Sebelumnya, pejabat dari kementerian terkait telah memastikan bahwa untuk rumah subsidi tapak, harga jual pada 2026 akan sama seperti tahun ini. Sementara itu, untuk rumah susun subsidi, pemerintah mengungkapkan bahwa harga sedang dalam tahap pembahasan, namun belum ada rincian lebih lanjut mengenai kapan penyesuaian akan diumumkan. Pernyataan itu disampaikan saat pewawancara mengonfirmasi rencana harga tahun depan. “Iya, tidak ada kenaikan,” katanya singkat.
Baca Juga:
Kali Cokel Pacitan: “Amazon” di Jawa Timur yang Wajib Dikunjungi!
Keputusan mempertahankan harga ini terjadi di tengah banyaknya tuntutan dari kalangan pengembang. Beberapa asosiasi sebelumnya telah mengusulkan penyesuaian harga rumah subsidi agar bisa naik signifikan, bahkan hingga sekitar Rp 250 juta, untuk menyesuaikan dengan realitas biaya tanah dan material yang terus meningkat. Mereka berargumen bahwa dengan kenaikan tersebut, rumah subsidi bisa lebih menjangkau masyarakat berpenghasilan menengah-bawah dengan kapasitas upah yang sedikit lebih tinggi. Namun, usulan tersebut tampaknya batal atau belum disetujui, sehingga harga jual tetap pada tingkat sebelumnya.
Penolakan terhadap perubahan harga menyisakan sejumlah pertanyaan dan kekhawatiran. Di satu sisi, keputusan ini tentu menguntungkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang mengincar rumah subsidi, karena harga yang tetap berarti angsuran dan uang muka menjadi lebih terjangkau. Namun di sisi lain, pengembang menghadapi tekanan serius akibat naiknya biaya produksi: bahan bangunan mahal, pengadaan material sulit, dan tekanan pada margin keuntungan. Dalam situasi seperti ini, kualitas proyek bisa terancam, pengembang mungkin kesulitan menjaga standar bangunan dan ketepatan jadwal penyelesaian rumah.
Tambahan pula, keputusan ini bisa berdampak pada keinginan pengembang untuk membangun di daerah-daerah dengan biaya material yang tinggi atau pasokan terbatas. Bila margin terlalu sempit, ada kemungkinan proyek subsidi di sana bakal tertunda, diperpanjang, atau bahkan dibatalkan, yang pada akhirnya bisa mengurangi pasokan hunian terjangkau bagi masyarakat yang sangat membutuhkan.
Bagi calon pembeli rumah subsidi, keputusan harga tetap bisa dirayakan sebagai kabar baik, rumah tetap terjangkau dan program subsidi tetap relevan. Namun mereka sebaiknya juga berhati-hati dan memperhatikan kualitas saat menerima unit, terlebih jika tekanan biaya membuat pengembang mencari jalan pintas. Sementara bagi pemerintah dan pembuat regulasi, keputusan ini menunjukkan dilema struktural, menjaga harga tetap demi membantu masyarakat miskin tetapi juga menghadapi fakta bahwa biaya input untuk pembangunan terus merangkak naik.
Baca Juga:
Tiap Hari Murid Jalan Kaki 2 Jam Lewati Hutan selama 25 Tahun Demi ke Sekolah, Sentil Gubernur
Secara keseluruhan, kebijakan menjaga harga rumah subsidi tetap di 2026 menunjukkan kompromi antara upaya menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan realitas ekonomi di lapangan. Para pengembang menerima keputusan itu dengan kondisi hati-hati, berharap agar pemerintah memberi solusi atas lonjakan biaya material dan memastikan kelangsungan proyek. Di saat yang sama, masyarakat dipersilakan menikmati manfaat kebijakan harga stabil, namun dengan kewaspadaan terhadap kualitas dan ketersediaan hunian di masa datang.









